Suara
ledakan tiba-tiba terdengar tepat dibelakang sebuah rumah yang ditinggali oleh
seorang bocah penghafal Quran. Sebut saja namanya Syahid. Akan tetapi,
peristiwa itu tidak membuat Syahid gentar. Seakan, suara-suara tersebut sudah
menjadi nyanyian pengiring disaat ia akan tertidur atau disaat Syahid berangkat
ke sekolah bersama temannya, Furqan.
Furqan
dan Syahid adalah dua anak laki-laki yang berusia delapan tahun. Saat ini,
mereka sedang menempuh pendidikan di Sekolah
Tahfidz Ustadz Salim yang berjarak sekitar lima meter dari tempat mereka
tinggal. Syahid dan Furqan adalah sahabat dekat yang berasal dari keluarga yang
berbeda. Ayah Syahid sudah terlebih dahulu pergi meninggalkan Syahid, ibu
Syahid dan kakaknya Syahid karena harus memenuhi panggilan jihad bersama para
pasukan Hamas. Berbeda dengan Furqan. Ia masih memiliki keluarga utuh yang
dapat melindunginya sepanjang waktu atau bahkan menjadi tempatnya berkeluh
kesah dengan sulitnya kelas tahfidz yang ia jalani saat ini.
Suatu
ketika saat sedang mengambil makanan di pos pengungsian, Furqan bertemu dengan
ibunda Syahid. Beliau tampak sedang berkeliling-keliling mencari keberadaan
Syahid yang tak kunjung ditemukan.
“Nak,
apakah kamu melihat Syahid berjalan di sekitar sini?” Ibunda Syahid bertanya
lembut diselimuti oleh kekhawatiran yang menyatu.
“Ya,
Bu. Saya melihatnya sedang berada di dekat Mesjid Al-Aqsa untuk menyelesaikan hafalan
terakhirnya, yaitu juz 27. Ia bertekad untuk wisuda dalam minggu ini bu. Ia
ingin menyusul ayahnya yang belum pernah kembali kerumah. Syahid merindukan ayahnya,
bu,” ucap Furqan menunduk.
Syahid
pernah bercerita pada Furqan bahwa salah satu cara agar dapat diterima menjadi
pasukan mujahid kecil di Palestina adalah dengan menuntaskan 30 juz hafalan
Quran. Ternyata, kata-kata tersebut menjadi penyemangat Syahid untuk bertemu
ayahnya yang tak kunjung kembali semenjak 6 bulan yang lalu.
Jawaban
Furqan hanya dibalas dengan butiran air mata yang tak sanggup di bendung oleh
Fatimah, ibunda Syahid. Ia menguatkan pijakan kakinya di atas tanah agar rasa
pusing yang ia rasakan karena belum mengkonsumsi makanan selama seharian bisa
sedikit terkendali.
“Baiklah
nak. Kamu juga semangat ya hafalan qurannya. Kita harus berlomba-lomba dalam
kebaikan. Itu pesan Allah pada kita sebagai hambanya. Nanti kalau Furqan sudah
selesai hafalan Qurannya, ibu akan memberikan satu mushaf Quran yang baru untuk
Furqan. Nah, sekarang ibu pamit pergi dulu ya nak. Salam cinta dari ibu
untukmu. Semoga nanti kita bisa kembali bertemu di syurga. Assalamu’alaikum,”
Fatimah melangkah pergi.
***
Di sebuah bangunan yang
terletak tak jauh dari masjid Al-Aqsa…
Syahid
bersembunyi dibalik sebuah bangunan runtuh agar tidak terusir oleh para tentara
zionis. Ia masih mengulang hafalannya yaitu pada surat Ar-Rahman ayat 46-53.
“Wa
liman khaafa maqaama rabbihii jannataaan. Fabiayyi aalaai rabbikumaa
tukadzdzibaan. Dzawaata afnaan. Fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadzdzibaan.
Fiihimaa ‘ainaani tajriyaan. Fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadzdzibaan. Fiihimaa
mingkulli faakihatin zaujan. Fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadzdzibaan,” ayat
demi ayat dilantunkan dengan merdu dan sempurna. Meski ia belum paham akan
makna surat tersebut, ibunda Syahidlah yang bertugas untuk membacakan
terjemahan hafalan Syahid setiap kali ia hendak tidur atau berangkat shalat
Shubuh berjama’ah.
Tanpa Syahid sadari, telah berdiri
seorang perempuan paruh baya yang telah mengintip aktivitasnya sejak tadi.
Perempuan itu melangkah perlaha-lahan manuju Syahid yang masih
mengulang-ngulang hafalannya. Perempuan tersebut memeluk Syahid dari belakang,
sambil berbisik lembut di telinganya.
“Dan
bagi orang yang takut saat menghadap Tuhannya, ada dua syurga. Maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Kedua syurga itu mempunyai aneka
pepohonan dan buah-buahan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Didalam syurga itu ada dua buah mata air yang mengalir. Maka nikmat Tuhanmu
yang manakah yang kamu dustakan? Didalam syurga itu terdapat segala macam
buah-buahan yang berpasangan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?” pelukan sang ibu dibalas oleh ciuman hangat Syahid di keningnya.
“Ibu,
aku mencintaimu karena Allah,” Syahid mencium tangan ibunya. Ia kembali
berkata,”Bukankah dunia ini hanya sementara ibu? Semua ini hanya titipan kan
ibu? Ayah juga titipan. Ibu juga titipan. Begitupun aku dan kakak. Bukan
begitu, ibu?” mata Syahid menatap lekat ibunya.
“Benar
sayang. Kita semua akan kembali pada Sang Pencipta kita. Dialah Allah yang
menciptakan syurga yang begitu indah. Ia pulalah yang menciptakan neraka yang
begitu pedih. Nah, sekarang Allah sedang menguji kita, menguji negri Palestina.
Allah ingin melihat siapakah diantara hamba-hambaNya yang beriman dan berjuang
membela agamanya. Semoga… ayah adalah satu diantara pejuang itu ya, nak.
Sekarang ayo kita pulang, ibu sudah membawakan makanan untuk kita makan dan
persediaan untuk sahur nanti malam,” ucap Fatimah kemudian.
“Sebentar
bu,” Syahid menghentikan langkah sang ibu.
“Apakah
ibu rela jika aku juga menjadi salah satu pejuang itu?”
Fatimah
terdiam. Ia berfikir panjang. Berat baginya untuk memutuskan. Tetapi, ia ingat
pesan suaminya sebelum keberangkatannya bersama pasukan HAMAS melawan tentara
zionis Israel.
Jika suatu suatu saat nanti, aku
tidak ditakdirkan untuk kembali. Maka, jagalah anak-anak kita dengan baik.
Didiklah mereka hingga mampu menuntaskan hafalan qurannya. Syahid adalah
satu-satunya anak laki-laki yang kita miliki. Jika ia hendak menyusulku, maka
izinkanlah ia seperti yang pernah dilakukan oleh shahabiyah pada zaman Rasulullah
SAW. Jadikanlah ia singa Allah yang tak pernah takut dengan musuh Allah. Insya
Allah kami akan menunggumu dan Aini di syurga.
Fatimah
tersenyum. Ia memberikan senyuman terindahnya sambil memegang erat tangan
Syahid. Ia berbisik lembut,” Ya. Aku mengizinkanmu wahai malaikat kecilku. Biar
Allah yang menjagamu”. Syahid ikut tersenyum. Fatimah memalingkan wajahnya ke
langit sembari berdo’a. air matanya menetes dan jatuh tepat pada cincin
pernikahannya. Kini ia ikhlas, apapun yang terjadi, semoga Allah berikan
kesabaran pada dirinya.
***
1 minggu kemudian…
“Wa
liman khaafa maqaama rabbihii jannataaan. Fabiayyi aalaai rabbikumaa
tukadzdzibaan. Dzawaata afnaan. Fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadzdzibaan.
Fiihimaa ‘ainaani tajriyaan. Fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadzdzibaan. Fiihimaa
mingkulli faakihatin zaujan. Fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadzdzibaan,” ayat
demi ayat dilantunkan dengan merdu dan sempurna oleh sesosok bocah kecil yang
bernama Syahid. Kali ini ia tidak sedang berada di reruntuhan bangunan dekat
Mesjid Al-Aqsa, namun ia sedang berada di antara dua buah mata air yang
mengalir sangat indah.
Fatimah
mendekati Syahid sambil berbisik lembut,” “Dan bagi orang yang takut saat
menghadap Tuhannya, ada dua syurga. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan? Kedua syurga itu mempunyai aneka pepohonan dan buah-buahan. Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Didalam syurga itu ada dua buah
mata air yang mengalir. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Didalam syurga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasangan. Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Fatimah memeluk Syahid dengan
kuat sambil menitikkan air mata.
“Ibu.
Berjanjilah untuk tidak bersedih lagi. Kini aku sudah menjumpai ayah di tempat
yang sangat indah. Aku telah menyelesaikan hafalanku ibu. Aku sangat bahagia
pernah menjadi putramu. Insya Allah, aku dan ayah akan menunggumu di sini. Ya,
ditempat yang sangat indah ini,” Syahid kembali mencium tangan sang ibu.
“Aku
mohon pamit ibu. Ayah telah memanggilku. Jaga dirimu baik-baik ibu. Aku
mencintaimu karena Allah,” perlahan tubuh Syahid mulai pergi dan menghilang
dari pandangan Fatimah.
Fatimah
terbangun dan segera beristighfar. Ia baru sadar bahwa dirinya sudah berada di
rumah sakit dengan perlengkapan yang serba terbatas. Disampingnya telah
tertidur pulas anaknya Syahid sambil tersenyum indah. Baru saja Syahid dan
Fatimah menjadi korban serangan tentara zionis Israel. Sangat disayangkan,
dokter tidak bisa menyelamatkan Syahid dikarenakan luka yang amat parah
mengenai organ dalam tubuhnya.
Fatimah
mencoba berdiri dibantu oleh Aini, anak perempuannya. Ia berbisik lembut pada
Syahid yang kini tubuhnya sudah mulai terasa dingin.
“Asyhadu
allaa ilaaha illallah. Waasyhadu anna muhammadarrasuulullah. Ibu sudah
mengikhlaskanmu Syahid. Ibu ridho padamu. Doakan ibu dan Aini agar bisa segera
menyusul kamu dan ayah disana,” bibir Fatimah bergetar.
“Syahid,
ibu akan selalu merindukan bacaan quranmu,” Kata-kata terakhir yang dapat
Fatimah ucapkan sebelum para relawan memandikan jenazah Syahid dan
mengafaninya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar