info lomba blog

klik

Sabtu, 24 Mei 2014

halte hidayah



Halte Hidayah
            Layaknya  sebuah bis yang melakukan perjalanan panjang, dia akan berhenti di halte untuk mengambil penumpang. Begitu juga dengan hatiku yang sedang menyusuri jauhnya perjalanan mendekati Allah  dan berhenti di halte-halte hidayah. Halte yang berisi penuh dengan pelangi. Terkadang pelangi itu berupa cahaya dan terkadang pula pelangi itu berupa air mata. Cahayanya menjadikanku lebih baik seperti saat ini dan air mata menjadikanku untuk lebih intropeksi diri.
***
            Bermula dari kisah keberangkatanku  ke sebuah pesantern modern yang terletak tak jauh dari Jawa Timur. Disitu aku menimba ilmu dengan teman-teman. Tertawa dan sedih bersama. Bersatu bagaikan sebuah keluarga. Saling menguatkan dan mengingatkan dalam kebaikan. Saling berbagi disaat kita merasa sangat sendiri. Namun, semua hal itu tak dapat mengubah hatiku yang beku. Tak bisa merubah sikapku yang kasar dan tak mampu melawan hawa nafsuku yang penuh dengan ego. Keberanianku untuk meninggalkan shalat fardhu, meninggalkan puasa sunah, mengobrol disaat tilawah dan terlambat dalam setiap kegiatan bahkan mengambil barang yang bukan hakku, membuat diriku ingin memberontak. Tak ada terbesit dalam hatiku sedikitpun untuk takut dengan kemurkaan Allah dan ‘azabnya. Tetapi, meskipun demikian, aku tetap dikenal sebagai anak yang penuh semangat, lucu, pintar dan  aneh. Sehingga keberadaanku bisa membawa segarnya keadaan di tengah rumitnya kehidupan pesantren.
            “Rin, ana tau anti punya masalah dirumah. Tapi bukan berarti anti harus seperti ini. Ana kasihan lihat anti tiap hari menjalankan hukuman. Di kelas, ana selalu bangunin anti. Tapi anti selalu tidur lagi. Apa anti tidak kasihan sama ayah anti yang sudah mencari uang untuk biaya sekolah anti disini? anti beruntung Rin, mungkin anti punya ayah dan ibu yang mampu membiayai anti, sedangkan orang tua ana harus menguras keringat mereka untuk mencari jalan keluar dari ekonomi yang melilit. Dengan itu, ana bertekad untuk belajar sungguh-sungguh disini. Ana janji gak mau mengecewakan mereka,” nasihat Diana sahabat sekamarku.“Udah deh, Di. Gak usah banyak ceramah. Urusin aja teman anti yang lain. Ngapain anti sibuk ngurusin ana. Toh, gak lama lagi ana akan keluar dari ‘penjara’ ini. Biar anti gak dibebankan lagi untuk sibuk-sibuk ikut campur masalah ana. Gak dipermalukan lagi dengan kenakalan ana yang akan menjelekkan anti sebagai ketua angkatan. Dan gak akan ada lagi Rini yang selalu membuat kalian kesal dan marah. Ana janji,” ucapku seraya berpaling meninggalkan Diana yang saat itu menangis mendengar kata-kataku.
            Dalam diamnya dia berdo’a Ya Allah Engkaulah yang mampu membolak balikkan hati kami, titip temanku Rini ya Allah, tugasku sudah selesai untuk menjaganya, menasehatinya dan mengingatkannya. Aku tak kuasa lagi untuk mengajak dia dalam jalan Mu. Bukan karena aku tak mampu. Tapi takdirMu yang akan memisahkan jarak kami. Tapi aku ikhlas dan yakin, suatu saat nanti ia akan berubah.
***
            Sekarang aku sudah berada di dunia luar. Bebas dari ‘penjara suci’ yang membelenggu dengan berbagai aturan hidup. Nampaknya bebas. Namun siapa yang menjamin masalah dalam hidup tidak akan muncul? Pesantren memang membuatku  berhijab, membuatku shalat sebagai kewajiban. Namun sikapku dalam merespon dunia masih seperti dulu.
            Suatu hari di rumah orang tuaku, pertengkaran itu kembali terjadi. “Apa juga anak pesantren, adik sendiri kok dipukulin. Gak pernah belajar cara berakhlak ya?,” bentak mama, ibu tiriku. “ Emangnya Rini pikirin. Salah sendiri ngapain gak bisa jaga anak yang benar. Didik anaknya  biar dia tau sopan santun sama kakaknya,” pintu kamar ku banting dengan kasar.
            Beberapa bulan kemudian, keributan itu kembali terulang. Kejadian ini terjadi disekolah saat aku masih SMA. Seorang teman laki-laki jatuh cinta padaku, namun karena kecemburaanya disaat aku berbicara dengan orang lain. Tanpa pikir panjang dia berkata,” Berapaan sih kamu semalam?” emosi ku memuncak, aku menunggunya pulang. Dan…..’prakkk’, aku berhasil menamparnya. Begitupun seterusnya, hari demi hari aku berhadapan dengan masalah, sehingga guru BK memanggilku diruangannya.
            Hatiku terus keras bagai batu. Tak pernah kudapatkan ketenangan hidup. Hubungan batinku dengan Allah sangat jauh. Namun, Allah tak pernah bosan untuk memberikan teguran padaku. Tetap memberikan rezeki meski aku tak berbagi. Tetap memberikanku sehat meski ku slalu penat untuk berdo’a.
            Sampai pada akhirnya, Allah mempertemukanku  dengan teman-teman yang shalehah. Bernaung dalam sebuah tarbiyah.  Di sebuah sekolah yang terbilang megah di tengah keramaian kota yang indah, kota Banda Aceh.
            “Umay, Ela, kita liqa’ yuk!”  ajakku pada sahabat terbaik. “Ia, aku hubungi kak Julia dulu ya,” balas Ela dari seberang telpon. Seperti itulah kegiatan kami setiap minggu. Mengisi kekosongan hati yang sudah sangat jauh dari Allah. Meski usaha itu penuh air mata.
            “Mau kemana?”Tanya ayah. “Ehmmm..pergi kajian yah,”Jawabku gugup. “Tidak boleh pergi. Di rumah saja. Ayah tidak mau kamu nanti jadi ikut-ikutan aliran sesat,”tegas ayah. “Tidak yah, kami belajar Al-qur….”  “Sudah berani membantah kamu ya? Sekali ayah bilang tidak, tetap tidak. Ayah tidak terima apapaun alasannya.
            Cobaan demi cobaan itu terus kuhadapi. Tapi aku merasa Allah semakin dekat dan membantuku menghadapi cobaan itu. Selalu ada jalan keluar. Tahajjud setiap malam pun tak henti. Rawatib dan tilawah sebagai penambah obat hati. Rasa sejuk selalu menyelimuti diri. Sampai suatu hari aku menangis karena sudah jatah bulanan, yang berarti aku tidak bisa sholat lagi. Sedih rasanya, jika sehari saja tidak bisa bermunajat diri, jauh dari sang Ilahi. Namun aku yakin jika kita berjalan mendekati Allah, Allah akan berlari mendekati kita. Bukan tempat yang menjamin diri kita berubah, Bukan tempat pula yang menjamin diri kita shalehah. Tapi hati, hatilah yang harus berpetualang mencari hidayah. Meski terkadang aku berhenti di halte hidayah, namun aku akan berusaha untuk terus mengejarnya, sampai suatu hari nanti aku berjumpa dengan Allah, menggapai ridhaNya dan menempati syurgaNya. Amin Ya Rabbal ‘alamin.
Penulis bernama Farah Febriani. Alamat FB  “Farah Febriani”. Alamat Email farahfebriani66@gmail.com. Dapat dihubungi dengan nomor HP 0852 7580 3544. Prestasi yang pernah penulis raih adalah dua puluh besar dalam lomba menulis untuk pemerintah tingkat SD se Banda Aceh . Juara 1 menulis “Surat Cinta untuk Guru” dan 260 naskah terbaik dalam lomba menulis puisi Nasionalisme tingkat Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar