Halte Hidayah
Layaknya sebuah bis yang melakukan perjalanan panjang,
dia akan berhenti di halte untuk mengambil penumpang. Begitu juga dengan hatiku
yang sedang menyusuri jauhnya perjalanan mendekati Allah dan berhenti di halte-halte hidayah. Halte
yang berisi penuh dengan pelangi. Terkadang pelangi itu berupa cahaya dan
terkadang pula pelangi itu berupa air mata. Cahayanya menjadikanku lebih baik
seperti saat ini dan air mata menjadikanku untuk lebih intropeksi diri.
***
Bermula dari kisah
keberangkatanku ke sebuah pesantern
modern yang terletak tak jauh dari Jawa Timur. Disitu aku menimba ilmu dengan
teman-teman. Tertawa dan sedih bersama. Bersatu bagaikan sebuah keluarga.
Saling menguatkan dan mengingatkan dalam kebaikan. Saling berbagi disaat kita
merasa sangat sendiri. Namun, semua hal itu tak dapat mengubah hatiku yang
beku. Tak bisa merubah sikapku yang kasar dan tak mampu melawan hawa nafsuku
yang penuh dengan ego. Keberanianku untuk meninggalkan shalat fardhu,
meninggalkan puasa sunah, mengobrol disaat tilawah dan terlambat dalam setiap
kegiatan bahkan mengambil barang yang bukan hakku, membuat diriku ingin
memberontak. Tak ada terbesit dalam hatiku sedikitpun untuk takut dengan
kemurkaan Allah dan ‘azabnya. Tetapi, meskipun demikian, aku tetap dikenal sebagai
anak yang penuh semangat, lucu, pintar dan
aneh. Sehingga keberadaanku bisa membawa segarnya keadaan di tengah
rumitnya kehidupan pesantren.
“Rin, ana tau anti punya
masalah dirumah. Tapi bukan berarti anti
harus seperti ini. Ana kasihan lihat anti tiap hari menjalankan hukuman. Di
kelas, ana selalu bangunin anti. Tapi
anti selalu tidur lagi. Apa anti
tidak kasihan sama ayah anti yang sudah
mencari uang untuk biaya sekolah anti disini? anti beruntung Rin, mungkin anti
punya ayah dan ibu yang mampu membiayai anti, sedangkan orang tua ana harus
menguras keringat mereka untuk mencari jalan keluar dari ekonomi yang melilit.
Dengan itu, ana bertekad untuk belajar
sungguh-sungguh disini. Ana janji gak mau mengecewakan mereka,” nasihat Diana
sahabat sekamarku.“Udah deh, Di. Gak usah banyak ceramah. Urusin aja teman anti yang lain. Ngapain anti sibuk
ngurusin ana. Toh, gak lama lagi ana
akan keluar dari ‘penjara’ ini. Biar anti
gak dibebankan lagi untuk sibuk-sibuk ikut campur masalah ana. Gak dipermalukan lagi dengan kenakalan ana yang akan menjelekkan anti
sebagai ketua angkatan. Dan gak akan ada lagi Rini yang selalu membuat kalian
kesal dan marah. Ana janji,” ucapku
seraya berpaling meninggalkan Diana yang saat itu menangis mendengar
kata-kataku.
Dalam diamnya dia berdo’a Ya Allah Engkaulah yang mampu membolak
balikkan hati kami, titip temanku Rini ya Allah, tugasku sudah selesai untuk
menjaganya, menasehatinya dan mengingatkannya. Aku tak kuasa lagi untuk
mengajak dia dalam jalan Mu. Bukan karena aku tak mampu. Tapi takdirMu yang akan
memisahkan jarak kami. Tapi aku ikhlas dan yakin, suatu saat nanti ia akan
berubah.
***
Sekarang aku sudah berada di dunia
luar. Bebas dari ‘penjara suci’ yang membelenggu dengan berbagai aturan hidup.
Nampaknya bebas. Namun siapa yang menjamin masalah dalam hidup tidak akan
muncul? Pesantren memang membuatku
berhijab, membuatku shalat sebagai kewajiban. Namun sikapku dalam
merespon dunia masih seperti dulu.
Suatu hari di rumah orang tuaku,
pertengkaran itu kembali terjadi. “Apa juga anak pesantren, adik sendiri kok
dipukulin. Gak pernah belajar cara berakhlak ya?,” bentak mama, ibu tiriku. “
Emangnya Rini pikirin. Salah sendiri ngapain gak bisa jaga anak yang benar.
Didik anaknya biar dia tau sopan santun
sama kakaknya,” pintu kamar ku banting dengan kasar.
Beberapa bulan kemudian, keributan
itu kembali terulang. Kejadian ini terjadi disekolah saat aku masih SMA.
Seorang teman laki-laki jatuh cinta padaku, namun karena kecemburaanya disaat
aku berbicara dengan orang lain. Tanpa pikir panjang dia berkata,” Berapaan sih
kamu semalam?” emosi ku memuncak, aku menunggunya pulang. Dan…..’prakkk’, aku
berhasil menamparnya. Begitupun seterusnya, hari demi hari aku berhadapan
dengan masalah, sehingga guru BK memanggilku diruangannya.
Hatiku terus keras bagai batu. Tak
pernah kudapatkan ketenangan hidup. Hubungan batinku dengan Allah sangat jauh.
Namun, Allah tak pernah bosan untuk memberikan teguran padaku. Tetap memberikan
rezeki meski aku tak berbagi. Tetap memberikanku sehat meski ku slalu penat
untuk berdo’a.
Sampai pada akhirnya, Allah
mempertemukanku dengan teman-teman yang
shalehah. Bernaung dalam sebuah tarbiyah. Di sebuah sekolah yang terbilang megah di
tengah keramaian kota yang indah, kota Banda Aceh.
“Umay, Ela, kita liqa’ yuk!” ajakku pada sahabat terbaik. “Ia, aku hubungi
kak Julia dulu ya,” balas Ela dari seberang telpon. Seperti itulah kegiatan
kami setiap minggu. Mengisi kekosongan hati yang sudah sangat jauh dari Allah.
Meski usaha itu penuh air mata.
“Mau kemana?”Tanya ayah.
“Ehmmm..pergi kajian yah,”Jawabku gugup. “Tidak boleh pergi. Di rumah saja.
Ayah tidak mau kamu nanti jadi ikut-ikutan aliran sesat,”tegas ayah. “Tidak
yah, kami belajar Al-qur….” “Sudah
berani membantah kamu ya? Sekali ayah bilang tidak, tetap tidak. Ayah tidak
terima apapaun alasannya.
Cobaan demi cobaan itu terus
kuhadapi. Tapi aku merasa Allah semakin dekat dan membantuku menghadapi cobaan
itu. Selalu ada jalan keluar. Tahajjud setiap malam pun tak henti. Rawatib dan
tilawah sebagai penambah obat hati. Rasa sejuk selalu menyelimuti diri. Sampai
suatu hari aku menangis karena sudah jatah bulanan, yang berarti aku tidak bisa
sholat lagi. Sedih rasanya, jika sehari saja tidak bisa bermunajat diri, jauh
dari sang Ilahi. Namun aku yakin jika kita berjalan mendekati Allah, Allah akan
berlari mendekati kita. Bukan tempat yang menjamin diri kita berubah, Bukan
tempat pula yang menjamin diri kita shalehah. Tapi hati, hatilah yang harus
berpetualang mencari hidayah. Meski terkadang aku berhenti di halte hidayah,
namun aku akan berusaha untuk terus mengejarnya, sampai suatu hari nanti aku
berjumpa dengan Allah, menggapai ridhaNya dan menempati syurgaNya. Amin Ya
Rabbal ‘alamin.
Penulis
bernama Farah Febriani. Alamat FB “Farah
Febriani”. Alamat Email farahfebriani66@gmail.com.
Dapat dihubungi dengan nomor HP 0852 7580 3544. Prestasi yang pernah penulis
raih adalah dua puluh besar dalam lomba menulis untuk pemerintah tingkat SD se
Banda Aceh . Juara 1 menulis “Surat Cinta untuk Guru” dan 260 naskah terbaik dalam
lomba menulis puisi Nasionalisme tingkat Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar