Setegar Karang, Setulus Samudera
Pandanganku
masih terpaku pada bingkai foto yang tertempel di dinding kamar kami. Sudah 10
tahun kami menikah, dan kami masih menunggu kehadiran seorang anak untuk
mengisi kelengkapan rumah tangga kami. Tiada malam yang kulalui tanpa
bertahajud dan senantiasa memohon kepada Nya. Dialah Allah yang menitipkan dan
mengambil titipannya. Namun, aku sangat bersyukur dipertemukan dengan Muhammad,
suamiku. Tidak pernah sedetik pun ia mengeluhkan kejadian ini. Ia tetap setia
menerima semua kekuranganku. Ia lelaki yang hampir sempurna dipandanganku.
Sosoknya penyayang, sabar dan rajin membuat banyak orang kagum kepadanya.
Terlebih ibadahnya yang selalu istiqamah. Terimakasih Ya Allah….
“Bidadariku, mengapa gerangan engkau
melamun? Apa salahku kepadamu wahai adinda?” terdengar suara lembut dibalik
daun pintu. Tersentak lamunanku buyar dan melirik kearah daun pintu.
“Astaghfirullah, Jannah tidak menyadari kehadiran Muhammad disini. Silahkan
masuk dan duduklah disamping Jannah”. Setelah Muhammad duduk, Jannah menyambung
pembicaraannya. “Wahai Muhammad, imamku…Aku telah bertemu dengan seorang wanita yang shalihah, cantik
lagi baik hatinya. Siapapun akan senang memandangnya. Ia baru saja pulang dari
Syiria. Ia adalah teman karibku disaat kami kuliah. Aku mengenalnya dengan
baik. Bolehkah aku memohon suatu hal
padamu, suamiku? Bukankah selama ini aku belum pernah memohon apapun darimu,
namun untuk kali ini aku sangat berharap engkau bersedia memenuhinya,” pintaku
dengan wajah memelas.
Kring..kring… Tiba- tiba saja telpon
rumah berdering. Aku segera beranjak dari kamar menuju ruang tamu.
“Assalamu’alaikum, ini dengan Jannah. Dengan siapa disana?” sapaku pada si
penelepon. “Wa’alaikumussalam, ini Raudah. Bagaimana kabarmu? Aku ingin kita berjumpa
dan membicarakan sesuatu.” “Baik Raudah, kita berjumpa di kantorku besok siang
jam 12, bagaimana?”jawabku. “Baiklah, insya Allah. Senang bertemu Jannah lagi.
Aku sudah sangat rindu”. “Begitupun diriku, Raudah, baiklah sampai jumpa besok.
Assalamu’alaikum,” tanganku meletakkan gagang telpon, mengakhiri pembicaraanku
dengan Raudah.
***
“Jannah, aku masih resah memikirkan
permintaanmu dua minggu yang lalu. Permintaanmu itu sangat sulit aku jawab. Aku
sadar, dahulu aku memang pernah mengagumi Muhammad. Tapi itu terjadi sepuluh
tahun yang lalu, disaat kita masih sama-sama kuliah. Muhammadlah sosok
pendamping yang aku inginkan untuk menjadi pendampingku. Tapi setelah aku tahu,
cinta Muhammad untuk seseorang yang juga sangat aku sayangi, aku memilih mundur.
Dan setelah aku melanjutkan studi ke Syiria, Alhamdulillah aku sudah bisa
melupakan perasaan itu. Karena kebahagiaanku ketika sahabatku juga
bahagia,”senyum Raudah menambah cahaya di wajahnya.
“Raudah, jika kau ingin melihat
sahabatmu bahagia. Aku mohon, menikahlah dengan suamiku, Muhammad. Aku hanya
ingin melihat kebahagiaan di wajahnya. Coba kamu bayangkan Raudah, suami mana
yang tidak ingin memiliki keturunan dari sebuah pernikahan? Meski selama ini ia
tidak pernah membahas tentang seorang anak di hadapanku, karena ia tidak ingin
aku teriris oleh pembicaraan itu. Aku
yakin, Raudah. Insya Allah Muhammad juga akan memenuhi permintaanku untuk
menikahimu. Engkau tidak usah khawatir. Masalah persiapan pernikahan semua akan
aku persiapkan. Raudah….kebahagiannya adalah kebahagiaanku. Aku mohon…”buliran
air mata mulai membasahi pipiku. “Baik, jika ini yang bisa aku lakukan untuk
menolongmu, aku bersedia,”ucap Raudah padaku. Akhirnya tangis kami pun pecah.
Kamipun saling berpelukan untuk menguatkan satu sama lain.
Sungguh
perasaan bahagia itu mengalir di darahku. Tangis bahagia untuk dua orang yang kucintai, kebahagiaan sahabatku
dan juga suamiku sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Meski hati ini harus
berkorban, biarlah Allah yang akan membalas dengan kebaikan, bisikku dalam
hati.
Setiba dirumah, aku menceritakan
semua hal yang telah aku rencanakan sebelumnya. Awalnya Muhammad juga shok
dengan pernyataanku. Namun aku berhasil membujuknya dengan alasan yang baik. Setelah itu aku dan Raudah pergi berbelanja
mempersiapkan acara akad dan walimah mereka.
Dua minggu kemudian akad
berlangsung. Muhammad mengucapkan ijab qabul dengan sangat baik. Hatiku menagis
bahagia. Seakan aku melihat kembali potert pernikahanku dengannya 10 tahun
silam. Tiba-tiba aku mulai merasa mual.
Aku berlari ke kamar mandi. Aku heran, padahal tadi pagi aku sudah sarapan. Akhirnya
setelah acara akad selesai. Kami bertiga pulang kerumah. Aku menerima Raudah
sebagai anggota keluarga baru kami. Ya, kamar kami terpisah. Dan kami bersama-sama
melayani Muhammad. Muhammad pun sangat adil. Ia memberikan nafkah lahir batin
secara bergantian.
Dalam diam, aku tiba-tiba datang
untuk memeriksakan diri ke dokter. “Selamat bu, ternyata ibu hamil. Dan usia
kandungannya sudah beranjak tiga bulan. Namun sangat disayangkan ibu mengidap
kanker hati, ibu harus banyak istirahat agar janin ibu bisa selamat,” ucap dr.
Lina. “Alhamdulillah, puji syukur pada Allah setelah sekian lama penantian,
Allah mengabulkan do’a saya. Terimakasih banyak dokter. Saya permisi dulu.
Assalamu’alaikum,” pamitku pada dr. Lina. Karena terlalu senang, aku langsung
mencari mushala dan sujud syukur, aku tak lagi menghiraukan penyakit kanker
yang ada di dalam tubuhku.
***
Enam bulan kemudian…
“Subhanallah anak abi..perempuan cantik
seperti ibunya,” suara Muhammad tepat disampingku. Setelah diazankan Muhammad
menggendong bayi kami. Ada Raudah tepat disampingnya, wajahnya cerah melihat
kebahagiaan sahabatnya. Ia tahu, selama ini yang mereka nantikan adalah
kehadiran seorang anak. Tiba-tiba aku merasakan sakit yang luar biasa dan tak
tertahankan lagi. Aku merasa ajalku sudah semakin dekat. “Abi…Raudah…kemarilah.
Jannah merasa ajal Jannah sudah semakin dekat. Anak perempuan ini akan
kutitipkan kepada kalian. Jagalah ia dan didiklah ia menjadi anak yang shalihah.
Jagalah hubungan kalian. Aku do’akan kalian tetap bersama dunia akhirat.
Laaa…Ilaaha…Illallah…,”aku menutup mataku untuk istirahat yang panjang setelah
sempat meletakkan tangan Muhammad di atas tangan Lina.
Wajah Muhammad dan Raudah berubah
menjadi tangis kesedihan. Mereka tidak menyangka Jannah pergi secepat itu.
Akhirnya mereka memberi nama “Raudatul Jannah” kepada si bayi, untuk mengenang
ibunya yang telah wafat. Selamat tinggal Jannah, dirimu setegar karang, hatimu
setulus samudra akan selalu kami kenang dan menjadi teladan bagi anakmu kelak.
Penulis bernama Farah
Febriani,. Berasal dari kota Banda Aceh. Prestasi dalam menulis diraih juara 1
dalam lomba menulis surat cinta untuk guru pada ulang tahun PGRI. Dan pernah
lolos dalam lomba puisi Nasional. Penulis bisa dihubungi dengan kontak di bawah
ini :
No. HP : 0852
7580 3544
Email : Farahfebriani66@gmail.com
FB : Farah Febriani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar