info lomba blog

klik

Sabtu, 24 Mei 2014

setegar karang, setulus samudera



Setegar Karang, Setulus Samudera
            Pandanganku masih terpaku pada bingkai foto yang tertempel di dinding kamar kami. Sudah 10 tahun kami menikah, dan kami masih menunggu kehadiran seorang anak untuk mengisi kelengkapan rumah tangga kami. Tiada malam yang kulalui tanpa bertahajud dan senantiasa memohon kepada Nya. Dialah Allah yang menitipkan dan mengambil titipannya. Namun, aku sangat bersyukur dipertemukan dengan Muhammad, suamiku. Tidak pernah sedetik pun ia mengeluhkan kejadian ini. Ia tetap setia menerima semua kekuranganku. Ia lelaki yang hampir sempurna dipandanganku. Sosoknya penyayang, sabar dan rajin membuat banyak orang kagum kepadanya. Terlebih ibadahnya yang selalu istiqamah. Terimakasih Ya Allah….
            “Bidadariku, mengapa gerangan engkau melamun? Apa salahku kepadamu wahai adinda?” terdengar suara lembut dibalik daun pintu. Tersentak lamunanku buyar dan melirik kearah daun pintu. “Astaghfirullah, Jannah tidak menyadari kehadiran Muhammad disini. Silahkan masuk dan duduklah disamping Jannah”.  Setelah Muhammad duduk, Jannah menyambung pembicaraannya. “Wahai Muhammad, imamku…Aku telah bertemu  dengan seorang wanita yang shalihah, cantik lagi baik hatinya. Siapapun akan senang memandangnya. Ia baru saja pulang dari Syiria. Ia adalah teman karibku disaat kami kuliah. Aku mengenalnya dengan baik.  Bolehkah aku memohon suatu hal padamu, suamiku? Bukankah selama ini aku belum pernah memohon apapun darimu, namun untuk kali ini aku sangat berharap engkau bersedia memenuhinya,” pintaku dengan wajah memelas.
            Kring..kring… Tiba- tiba saja telpon rumah berdering. Aku segera beranjak dari kamar menuju ruang tamu. “Assalamu’alaikum, ini dengan Jannah. Dengan siapa disana?” sapaku pada si penelepon. “Wa’alaikumussalam, ini Raudah. Bagaimana kabarmu? Aku ingin kita berjumpa dan membicarakan sesuatu.” “Baik Raudah, kita berjumpa di kantorku besok siang jam 12, bagaimana?”jawabku. “Baiklah, insya Allah. Senang bertemu Jannah lagi. Aku sudah sangat rindu”. “Begitupun diriku, Raudah, baiklah sampai jumpa besok. Assalamu’alaikum,” tanganku meletakkan gagang telpon, mengakhiri pembicaraanku dengan Raudah.
***
            “Jannah, aku masih resah memikirkan permintaanmu dua minggu yang lalu. Permintaanmu itu sangat sulit aku jawab. Aku sadar, dahulu aku memang pernah mengagumi Muhammad. Tapi itu terjadi sepuluh tahun yang lalu, disaat kita masih sama-sama kuliah. Muhammadlah sosok pendamping yang aku inginkan untuk menjadi pendampingku. Tapi setelah aku tahu, cinta Muhammad untuk seseorang yang juga sangat aku sayangi, aku memilih mundur. Dan setelah aku melanjutkan studi ke Syiria, Alhamdulillah aku sudah bisa melupakan perasaan itu. Karena kebahagiaanku ketika sahabatku juga bahagia,”senyum Raudah menambah cahaya di wajahnya.
            “Raudah, jika kau ingin melihat sahabatmu bahagia. Aku mohon, menikahlah dengan suamiku, Muhammad. Aku hanya ingin melihat kebahagiaan di wajahnya. Coba kamu bayangkan Raudah, suami mana yang tidak ingin memiliki keturunan dari sebuah pernikahan? Meski selama ini ia tidak pernah membahas tentang seorang anak di hadapanku, karena ia tidak ingin aku teriris oleh pembicaraan  itu. Aku yakin, Raudah. Insya Allah Muhammad juga akan memenuhi permintaanku untuk menikahimu. Engkau tidak usah khawatir. Masalah persiapan pernikahan semua akan aku persiapkan. Raudah….kebahagiannya adalah kebahagiaanku. Aku mohon…”buliran air mata mulai membasahi pipiku. “Baik, jika ini yang bisa aku lakukan untuk menolongmu, aku bersedia,”ucap Raudah padaku. Akhirnya tangis kami pun pecah. Kamipun saling berpelukan untuk menguatkan satu sama lain.
            Sungguh perasaan bahagia itu mengalir di darahku. Tangis bahagia untuk  dua orang yang kucintai, kebahagiaan sahabatku dan juga suamiku sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Meski hati ini harus berkorban, biarlah Allah yang akan membalas dengan kebaikan, bisikku dalam hati.
            Setiba dirumah, aku menceritakan semua hal yang telah aku rencanakan sebelumnya. Awalnya Muhammad juga shok dengan pernyataanku. Namun aku berhasil membujuknya dengan alasan yang baik.  Setelah itu aku dan Raudah pergi berbelanja mempersiapkan acara akad dan walimah mereka.
            Dua minggu kemudian akad berlangsung. Muhammad mengucapkan ijab qabul dengan sangat baik. Hatiku menagis bahagia. Seakan aku melihat kembali potert pernikahanku dengannya 10 tahun silam. Tiba-tiba aku mulai  merasa mual. Aku berlari ke kamar mandi. Aku heran, padahal tadi pagi aku sudah sarapan. Akhirnya setelah acara akad selesai. Kami bertiga pulang kerumah. Aku menerima Raudah sebagai anggota keluarga baru kami. Ya, kamar kami terpisah. Dan kami bersama-sama melayani Muhammad. Muhammad pun sangat adil. Ia memberikan nafkah lahir batin secara bergantian.
            Dalam diam, aku tiba-tiba datang untuk memeriksakan diri ke dokter. “Selamat bu, ternyata ibu hamil. Dan usia kandungannya sudah beranjak tiga bulan. Namun sangat disayangkan ibu mengidap kanker hati, ibu harus banyak istirahat agar janin ibu bisa selamat,” ucap dr. Lina. “Alhamdulillah, puji syukur pada Allah setelah sekian lama penantian, Allah mengabulkan do’a saya. Terimakasih banyak dokter. Saya permisi dulu. Assalamu’alaikum,” pamitku pada dr. Lina. Karena terlalu senang, aku langsung mencari mushala dan sujud syukur, aku tak lagi menghiraukan penyakit kanker yang ada di dalam tubuhku.
***
Enam bulan kemudian…
            “Subhanallah anak abi..perempuan cantik seperti ibunya,” suara Muhammad tepat disampingku. Setelah diazankan Muhammad menggendong bayi kami. Ada Raudah tepat disampingnya, wajahnya cerah melihat kebahagiaan sahabatnya. Ia tahu, selama ini yang mereka nantikan adalah kehadiran seorang anak. Tiba-tiba aku merasakan sakit yang luar biasa dan tak tertahankan lagi. Aku merasa ajalku sudah semakin dekat. “Abi…Raudah…kemarilah. Jannah merasa ajal Jannah sudah semakin dekat. Anak perempuan ini akan kutitipkan kepada kalian. Jagalah ia dan didiklah ia menjadi anak yang shalihah. Jagalah hubungan kalian. Aku do’akan kalian tetap bersama dunia akhirat. Laaa…Ilaaha…Illallah…,”aku menutup mataku untuk istirahat yang panjang setelah sempat meletakkan tangan Muhammad di atas tangan Lina.
            Wajah Muhammad dan Raudah berubah menjadi tangis kesedihan. Mereka tidak menyangka Jannah pergi secepat itu. Akhirnya mereka memberi nama “Raudatul Jannah” kepada si bayi, untuk mengenang ibunya yang telah wafat. Selamat tinggal Jannah, dirimu setegar karang, hatimu setulus samudra akan selalu kami kenang dan menjadi teladan bagi anakmu kelak.
Penulis bernama Farah Febriani,. Berasal dari kota Banda Aceh. Prestasi dalam menulis diraih juara 1 dalam lomba menulis surat cinta untuk guru pada ulang tahun PGRI. Dan pernah lolos dalam lomba puisi Nasional. Penulis bisa dihubungi dengan kontak di bawah ini :
No. HP            :           0852 7580 3544
Email               :           Farahfebriani66@gmail.com
FB                   :           Farah Febriani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar